Pada Suatu Sore

di serambi pada suatu sore
saat matahari belum berubah terlalu merah
dan burung-burung belum tergegas terbang pulang;

kita duduk berayun kaki sembari menanti kudapan tersaji
anak-anak berlarian di hadapan dan terjatuh sesekali
bungsu menangis memohon uluran tanganmu –atau aku, tapi tak kau bolehkan
aku beranjak menariknya berdiri
“bangkitlah, nak. kau jatuh atas langkahmu sendiri, hentikan jerit tangismu. kegagalan takkan terasa begitu menyedihkan jika tak terus kau ratapi. berdiri dan tegapkan badanmu kembali. berlarilah hingga kau terjatuh lagi, berulang kali, hingga kesakitan tak mampu menghadirkan tangismu.”
ia terlalu muda untuk mengerti kenapa ayahnya tak mau membantu
tak juga cukup tua untuk pahami mengapa airmata boleh saja terjatuh asal tak terlalu lama menggayuti dagu
tapi toh tetap saja ia hentikan sesenggukan
mengusap ingus dengan tangan penuh tanah
–entah agar dikira berani atau karena bocah-bocah yang tak berhenti berlari telah memulai pesta tawa lain tanpanya. siapa tau ia paham, kebahagiaan tak menunggu tangis yang tak diam
segera di hadapan kita hanya tinggal kepulan debu dari derap yang terburu-buru

aku melirik diam-diam
: matamu tinggal garis tersanggah pipi putih bulat yang diangkat senyuman lebar
detik itu kutau, betapa surga sesungguhnya berasal dari rahim yang kau buahi:
rahimku

setetes air jatuh tepat di atas kepalamu
kulihat langit kelewat merah untuk senja yang biasa
maka kusudahi dongeng kali ini
kuseka basah dari kepala pusaramu dan kukecup tepat di pucuk

di serambi pemakaman  pada suatu sore
saat matahari telah berubah terlalu merah
dan burung-burung tergegas terbang pulang;

samar tawa anak-anak menggema di kepala
: sebuah pesta telah dimulai tanpaku
dan aku tak peduli

Tidak ada komentar: